Teori Hidup Menurut Komunis
Sisi Kelam Paham Ta'thil Masuk Dalam Syirik Rububiyah
Tidak diragukan lagi bahwa kesyirikan merupakan musuh bebuyutan tauhid, dialah lawan dari setiap orang yang mengesakan AllahShubhanahu wa ta’alla. sebagaimana aqidah tauhid mencakup didalamnya keyakinan untuk menetapkan rububiyah, asma dan sifat serta perbuatan Allah azza wa jalla. Begitu juga mencakup keyakinan untuk menolak adanya orang yang menjadikan tandingan bersama AllahShubhanahu wa ta’alla, baik dalam hal rububiyah, asma dan sifat maupun perbuatan -Nya. Lagi tidak memalingkan satupun jenis ibadah kepada selain -Nya.
Begitu pula, sungguh dalam kesyirikan juga mencakup secara jelas bentuk pengingkaran kepada Allah Shubhanahu wa ta’alladari aspek rububiyah, asma dan sifat serta perbuatan -Nya, lagi terkandung didalamnya untuk menjadikan tandingan bersama AllahShubhanahu wa ta’alla, dari segi rububiyah, asma dan sifat serta perbuatan -Nya, dan bisa dipastikan pelakunya akan memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah jalla wa 'ala.
Atas dasar inilah kita dapat melihat bahwa keberagaman perbuatan syirik, walaupun pada awal mulanya masuk dalam keragaman perbuatan kufur, kecuali bagi orang yang mencoba lebih cermat dalam melihat pendalilan yang ada pada harfiah tauhid dan syirik niscaya dirinya akan mendapat pencerahan yang sangat jelas bahwa hukum perilaku kufur tersebut tetap masuk dalam keberagaman syirik. Masuknya penamaan dalam hukum syirik ini tidak menjadikan adanya kontradiksi antara syirik dan kufur, sebab kekufuran memilik berbagai macam cabang yang sangat banyak, dan kesyirikan merupakan bagian dari cabang-cabang kekufuran tersebut yang sangat berlawanan dengan tauhid.
Kemudian sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa pangkal kesyirikan itu ada pada bentuk tasybih (penyerupaan makhluk pada penciptanya). Dan bagi orang yang menta'thil, tanpa sadar dirinya telah menyerupakan Rabbnya dengan suatu khayalan atau sebenarnya dirinya telah menjadikan -Nya dalam bagian alam khayalan, sehingga bisa dikatakan pada pelakunya, bahwa dirinya adalah seorang musyrik, yang menyekutukan Allah azza wa jalla. Bila ada yang menyangkal, "Sesungguhnya kesyirikan harus berada ditengah-tengah antara dua hal, dimana salah satu dari yang lain menjadi sekutu (serikatnya)".
Kita katakan padanya, "Sesungguhnya kesyirikan dengan cara menta'thil terkandung juga didalamnya bentuk mempersekutuan AllahShubhanahu wa ta’alla. Yaitu bisa dalam bentuk kesombongan, atau dengan ajakan jiwanya untuk menjadi sekutu bagi –Nya yaitu dengan cara memperbudak dirinya kepada hawa nafsunya". Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam sebuah keterangan yang berkaitan dengan masalah ini, beliau mengatakan, "Setiap orang yang sombong maka dia adalah seorang musyrik, lihat kepada Fir'aun bagaimana dia menjadi orang yang paling sombong untuk mau beribadah kepada Allah azza wa jalla, disamping predikat sombong yang dikenakan, juga stempel musyrik telah melekat padanya.
Bahkan penelitian mendalam menyimpulkan bahwa setiap orang, semakin sombong untuk mau beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’allamaka dirinya semakin jauh terjatuh ke dalam lubang kesyirikan. Sebab setiap kali dirinya menolak untuk beribadah kepada -Nya, akan semakin menambah kebutuhan dan kefakirannya kepada AllahShubhanahu wa ta’alla, untuk dapat merealisasikan pada keinginan yang dicintainya, yang menjadi tujuan inti -yakni tujuan hati- harus menggunakan tujuan pertama, sehingga dirinyamenjadi seorang musyrik dengan sebab keingkarannya akan hal tersebut"[1].
Hal senada juga dijelaskan oleh Imam Ibnu Qoyim dalam sebuah pernyataannya, "Salah satu diantara keduanya yaitu menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alladengan cara menta'thil. Yang merupakan bentuk kesyirikan yang paling buruk diantara bentuk kesyirikan yang ada, sebagaimana kesyirikan yang dilakukan oleh Fir'aun. Kesyirikan dan menta'thil adalah dua perkara yang saling berkaitan. Maka bisa dikatakan, setiap orang yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’allasama dengan mu'athil (orang yang sedang menta'thil), demikian pula sebaliknya, setiap mu'athil pasti musyrik. Namun, kesyirikan tidak melazimkan berada pada pokok menta'thil, karena terkadang orang yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’allamasih menetapkan adanya pencipta, yakni Allah Shubhanahu wa ta’allabersama dengan sifat-sifat yang dimiliki -Nya.
Tapi, bersamaan dengan itu dirinya menta'thil (meniadakan) hak tauhid pada -Nya. Maka kesimpulannya, pondasi kesyirikan serta pilar yang menjadi asas sebagai tempat untuk dijadikan rujukan dalam segala hal ialah masalah menta'thil ini"[2]Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan dalam bentuk qasidahnya yang isinya hampir sama dengan pernyataan diatas, beliau mengatakan:
Ketahuilah sesungguhnya kesyirikan dan ta'thil Semenjak lahir menjadi dua bersaudara yang tak terpisahkan Setiap orang yang menta'thil pasti menjadi musyrik Itu adalah kepastian yang sangat jelas Seorang hamba tertuntut pada dzat yang menghilangkan musibah Serta mencukupi segala kebutuhannya Segala kebutuhan dilabuhkan Kepadanya Hanya kepadanya tempat berlindung dari ketakutan Jika sirna sifat dan kemampuan untuk berbuat Serta ketinggian dzat atas seluruh makhluk Niscaya orang akan melabuhkan kepada dzat lain Itulah efek dari sikap mengingkari tuhan dan menta'thilnya Ada yang menta'thil sifat-sifatnya Ada pula yang meniadakan keesaannya Semua telah dibantah oleh para rasul Mulai dari Nuh hingga rasul terakhir Manusia dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok Tidak ada yang ke empatnya Salah satunya yang suka menyekutukan Ilah Jika berdo'a menyeru kepada sesembahan yang lain Inilah pengagung berhala yang masuk dalam kategori pertama Ada lagi yang beribadah kepada selain Allah[3]
Berkata Syaikh Muhammad Khalil Haras, didalam bukunya tatkala mencoba untuk menjabarkan bait-bait diatas, "Penulis sedang menegaskan didalam lantuan bait-bait ini, bahwasannya menta'thil dan menafikan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’allamerupakan saudara kembar kesyirikan dan melakukan peribadahan kepada berhala. Dimana keduanya, semenjak muncul, keberadaannya menjadi 2 hal yang tidak mungkin berpisah.
Dan yang terdepan ialah menta'thil yang akan mendorong untuk berbuat syirik, bahkan konsekuensi dari setiap orang yang menta'thil, sebagaimana hal ini juga merupakan konsekuensi dari pangkal keyakinan tersebut. Sehingga setiap mu'athil dan orang yang ingkar terhadap sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’allamaka dia adalah seorang yang telah menyekutukan -Nya dan sebagai penyembah thagut.
Hal tersebut, dikarenakan setiap hamba dalam kehidupan ini menghadapi dua kondisi, yaitu sisi yang baik maupun buruk. Sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk memisahkan diri untuk bisa mendapat kebaikan dengan sendirinya, atau menolak kejelekan yang menimpanya. Oleh karena itu dia sangat butuh kepada dzat yang mampu menolak keburukan yang akan menimpanya, dan memberi kecukupan atasnya. Dzat tersebut sebagai tempat untuk menggantungkan segala kebutuhannya dengan harapan nantinya akan memenuhi kebutuhannya. Dirinya akan berlindung kepadanya dari kekhawatiran yang sedang menimpa agar melimpahkan rasa aman.
Sehingga apabila kita menafikan sifat-sifat tuhan dan perbuatannya seperti di atas ini, yang menjadi tujuan, demikian pula tatkala kita menafikan keberadaannya diatas Arsynya, maka para hamba tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tempat berlindung, bahkan mereka tidak mendapatkan apapun, karena kosong. Akhirnya mereka meminta perlindungan kepada selainnya. Dan yang menyeret mereka pada kesyirikan semacam ini, berawal dari menta'thil dan ingkar kepada Allah azza wa jalla.
Maka bagi orang yang menta'thil sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’allasesungguhnya dirinya sedang meniadakan tauhid kepada -Nya. Dua ta'thil ini sama dengan meniadakan dua perkara yang dengannya diutuslah para rasul, mulai dari rasul pertama yaitu Nuh 'alaihi sallam hingga penutup para rasul yaitu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, disebabkan karena mengingkari dan membatalkan kedua perkara tadi. Dan manusia dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok, tidak ada kelompok yang keempatnya.
Pertama : kelompok yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alladalam peribadahan yaitu dengan menyeru bersama -Nya sesembahan yang lain. Dan ini merupakan kesyirikan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang yang menyekutukan Allah ta'ala. Dimana mereka masih menetapkan keberadaan Allah azza wa jalla, Dialah Maha Esa dalam rububiyah -Nya, dalam mencipta, memberi rizki, mengurusi serta menguasainya. Akan tetapi, mereka menyertakan sesembahan yang lain bersama -Nya dalam peribadahan yang mereka kerjakan.
Kedua: kelompok yang mengingkari Allah jalla wa 'ala, ingkar terhadap keberadaan -Nya, dan sifat-sifat -Nya yang maha sempurna. Maka kelompok ini, hakekatnya tidak menyembah AllahShubhanahu wa ta’alla, namun sedang menyembah selain AllahShubhanahu wa ta’alla. Karena terkumpul dalam dirinya antara menyekutukan Allah dan menta'thilnya.
Dari dua kelompok ini diambil dua tonggak yang dibangun diatasnya kekufuran dan pengingkaran. Dan ini merupakan dua kelompok yang paling buruk, sebab orang yang menyeru sesembahan lain bersama Allah Shubhanahu wa ta’allasambil berdo'a kepada-Nya itu lebih ringan dibanding orang yang sama sekali tidak mau berdo'a kepada -Nya, tapi menyeru kepada selain -Nya"[4].
Selanjutnya dalam bait syairnya Imam Ibnu Qoyim menjelaskan:
Orang yang menafikan sifat-sifat Allah pasti melakukan kesyirikan Dan orang yang berbuat syirik pasti sedang menafikan salah kekhususan Allah Atau meniadakan sebagian kesempurnaan sifat Oleh sebab itu, kalian jangan gegabah mengingkari
Dalam penjabarannya dijelaskan, "Orang yang menta'thil sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’allamaka dicap sebagai seorang musyrik, begitu pula seorang musyrik maka dicap sebagai mu'athil. Maka hendaknya perhatikan perkara ini dan cermatilah. Dan jangan gegabah untuk menolaknya sebelum memahami dengan baik"[5].
Kemudian Imam Ibnu Qayim mengatakan:
Tapi, menta'thil lebih buruk tindakannya Dari pada perbuatan syirik secara logika dan dalil Sebab, seorang mu'athil hakekatnya mengingkari dzat Allah Atau kesempurnaan yang dimiliki -Nya, dan keduanya termasuk menta'thil
Dalam syarhnya dijelaskan, "Maka apabila ta'thil, sebagaimana telah kami jelaskan, sebagai saudara kandung kesyirikan serta pengikutnya, maka seorang yang menta'thil kedudukannya lebih buruk daripada seorang musyrik, dan lebih jelek aqidahnya dibanding seorang musyrik kepada Allah jalla wa 'ala. Tuduhan ini bukanlah omong kosong yang sepi dari dalil, namun, ucapan ini didukung oleh dalil dan bukti akurat,Sesungguhnya ta'thil terbagi menjadi dua:
Pertama
Mengingkari Dzatnya Allah Shubhanahu wa ta’alladan tidak mau menetapkan keberadaan -Nya. Ini termasuk paham ta'thil yang dianut oleh sekte Dahriyah yang mengingkari adanya pencipta, dimana mereka mengatakan,
sebagaimana diabadikan oleh Allah ta'ala didalam firman -Nya
Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi
QS al-Mukminuun: 37
Kedua
Menta'thil sifat-sifat -Nya yang maha sempurna sebagaimana telah tetap pada -Nya. Dan kedua jenis ta'thil semacam inimengandung konsekuensi didalamnya pencemaran hakekat uluhiyah serta celaan pada kedudukan Allah azza wa jalla"[6]
Oleh sebab itu, tatkala membicarakan ragam jenis kesyirikan, Imam Ibnu Qayim menjelaskan, "Syirik itu terbagi menjadi dua, syirik yang berkaitan secara langsung dengan dzat yang disembah, nama dan sifat serta perbuatannya.Lalu yang kedua, syirik yang berkaitan dengan peribadahan dan hubungan kepadanya.Apabila pelakunya sampai meyakini bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak mempunyai sekutu dalam dzatnya, tidak pula dalam sifat-sifat dan perbuatan -Nya".
Hingga ucapan beliau, "Syirik jenis pertama terbagi lagi menjadi dua, salah satunya, syirik ta'thil.Dan syirik jenis ini termasuk yang paling buruk dan ini terbagi lagi menjadi tiga, menta'thil hasil ciptaan dari pembuat dan penciptanya.Yang kedua, menta'thil pencipta dari kesempurnaan yang suci, yaitu dengan menta'thil nama-nama dan sifat-sifat serta perbuatan -Nya.Ketiga, menta'thil interaksi bersama -Nya yang wajib ditunaikan oleh seorang hamba yang merupakan hakekat tauhid. Dan syirik jenis kedua yaitu menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alladengan cara mengambil tandingan bersama -Nya tanpa menta'thilnya"[7]
Hal senada juga dikatakan oleh al-Miqrizi, "Syirik terbagi menjadi dua, syirik yang berkaitan dengan dzat yang disembah (Allah), nama-nama dan sifat-sifat -Nya serta perbuatan -Nya.Yang kedua, syirik yang ada pada peribadahan dan hubungan antara hamba bersama Rabbnya.
Adapun syirik jenis pertama, maka inipun terbagi lagi menjadi dua; Salah satunya, syirik dengan cara menta'thil, dan ini merupakan jenis syirik yang paling jelek, seperti kesyirikan yang dilakukan oleh Fir'aun. Dan kesyirikan seperti ini terbagi lagi menjadi tiga:
Pertama
Menta'thil hasil ciptaan dari penciptanya.
Kedua
Menta'thil pencipta dari sifat kesempurnaanya yang telah melekat padanya.
Ketiga
Menta'thil hubungan yang wajib ditunaikan oleh seorang hamba dari menyempurnakan hakekat tauhid.
Dari ushul inilah pokok ideologi yang dianut oleh paham wihdatul wujud.Begitu pula dikolaborasi oleh para atheis yang menegaskan bahwa alam semesta sudah ada dengan sendirinya serta abadi tanpa mengalami kehancuran pada hari kiamat. Bercabang pula dari ushul ini kesyirikan yang muncul dari mu'athilah yang meniadakan nama-nama dan sifat-sifat AllahShubhanahu wa ta’alla, semisal sekte Jahmiyah, Qaramitah dan Mu'tazilah yang berpaham ekstrim.
Sedangkan yang kedua: Syirik dengan cara menyerupakan. Syirik ini banyak dianut oleh orang yang menjadikan sekutu bersama -Nya dengan mengambil sesembahan yang lain. Semisal, kesyirikan yang dilakukan oleh Nasrani terhadap Isa putera Maryam, Yahudi terhadap Uzair, Majusi yang membikin statmen penyandaran kejadian baik terhadap cahaya dan kejadian buruk kepada kegelapan.Dan kesyirikan yang dilakukan oleh Qadariyah dan Majusiyah berkisar pada hal ini"[8]
Dari penjelasan ini kita menjadi paham bahwasannya ta'thil termasuk perbuatan menyekutukan AllahShubhanahu wa ta’alla. Bahkan para ulama memasukan dalam jenis kesyirikan yang paling buruk.Dengan melihat pada cabang-cabang jenis kesyirikan ini dan keberadaanya pada zaman modern ini maka pembahasan kita akan lebih terfokus pada beberapa perkara, yaitu:
Pertama
Penjelasan tentang syirik dalam rububiyah dengan cara menta'thil hasil ciptaan dari pencitpanya.
Kedua
Penjelasan tentang syirik dalam rububiyah dengan cara menta'thil pencipta (Allah) dari kesempurnaan yang maha suci, yaitu dengan menta'thil nama, sifat dan perbuatan -Nya.
Ketiga
Penjelasan tentang syirik dalam rububiyah dengan cara menta'thil kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang hamba dari menyempurnakan hakekat tauhid.
References
[1]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 10/197-198.
[2]. Jawabul Kaafi hal: 310 oleh Ibnu Qayim.
[3]. Nuuniyah 2/283 oleh Ibnu Qayim bersama penjabarannya oleh Syaikh Muhammad Khalil Haras.
[4]. Syarh Qashidah Nuuniyah 2/283-284 oleh Syaikh Muhammad Khalil Haras.
[5]. Syarh Qashidah Nuuniyah 2/283-284 oleh Syaikh Muhammad Khalil Haras.
[6]. Ibid.
[7]. Jawabul Kaafi hal: 310-312.
[8]. Tajridu Tauhid Mufid hal: 14 oleh Imam al-Miqrizi.